![]() |
Ilustrasi (Ist/Peristiwanusantara.com) |
By Anggrainas Prasetio
NATUNA, Peristiwanusantara.com - Aroma praktik gratifikasi kembali terendus di tubuh Pemerintah Kabupaten Natuna. Kali ini, sorotan tajam publik mengarah langsung kepada Bupati Cen Sui Lan, menyusul dugaan proyek renovasi ruang kerja pimpinan daerah yang dilakukan secara diam-diam, tanpa kontrak resmi, tanpa dokumentasi anggaran, dan tanpa pelaporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasil investigasi media ini mengungkap bahwa tidak ditemukan kontrak kerja atau dokumen administrasi antara Pemkab Natuna dengan pihak ketiga terkait kegiatan renovasi ruang Bupati dan Wakil Bupati. Aktivitas tersebut tetap berlangsung, menggunakan jasa tukang lokal yang disebut-sebut diarahkan langsung oleh seorang pengusaha asal Kota Ranai tanpa dasar hukum yang jelas.
Siapa dibalik pendanaan proyek ilegal ini?
Pertanyaan kunci yang belum terjawab: siapa yang membiayai renovasi tersebut dan atas dasar apa kegiatan ini bisa berjalan di luar mekanisme resmi pemerintahan? Fakta ini mengindikasikan pelanggaran terhadap prinsip transparansi anggaran dan membuka ruang lebar bagi praktik korupsi yang terselubung.
Kecurigaan semakin menguat setelah pada 6 Maret 2025, sejumlah perabot mewah, yang diduga diperuntukkan bagi ruang kerja pimpinan daerah terpantau dikirim menggunakan kapal Bahtera Nusantara.
Namun anehnya, hingga kini tidak satu pun pejabat terkait, termasuk Kepala Bagian Umum dan Sekretaris Daerah Natuna, yang dapat menjelaskan asal-usul barang-barang tersebut. Ketiadaan dokumen pengadaan dan nihilnya catatan dalam belanja APBD memperkuat dugaan bahwa perabotan tersebut adalah pemberian dari pihak luar.
Jika benar demikian, maka Bupati Cen Sui Lan patut diduga telah menerima gratifikasi secara ilegal, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan nilai Rp10 Juta atau lebih, kecuali dapat dibuktikan bahwa gratifikasi tersebut diberikan bukan karena jabatan atau tidak ada konflik kepentingan.”
Lebih lanjut, Pasal 12C menegaskan bahwa setiap penerima gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak penerimaan. Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ditemukan satu pun laporan gratifikasi dari Bupati Cen Suilan kepada KPK. Fakta ini membuka dugaan bahwa pemberian tersebut diterima secara sembunyi-sembunyi, melanggar kewajiban hukum sebagai penyelenggara negara.
Pakar Hukum : Potensi Suap Sangat Nyata
Pengamat hukum sekaligus praktisi, Jirin, memberikan tanggapannya saat dikonfirmasi pada Rabu (2/7/2025). Ia menilai bahwa unsur gratifikasi dalam kasus ini sudah mulai terbentuk, terutama jika pemberian barang dan fasilitas tersebut berkaitan langsung dengan jabatan penerima.
“Gratifikasi adalah segala bentuk pemberian kepada penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya. Jika tidak dilaporkan dan ada potensi konflik kepentingan, maka itu bisa dikategorikan sebagai suap,” ujar Jirin.
Ia juga menegaskan bahwa segala bentuk pemberian kepada pejabat publik harus jelas dari sisi niat, motif, dan legalitasnya.
“Kalau pemberian tersebut bertujuan memengaruhi keputusan atau kebijakan pejabat, maka itu bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi sudah masuk ranah pidana korupsi,” tambahnya.
Jirin mendesak agar seluruh proses renovasi, pengadaan barang, dan aktivitas keuangan di lingkungan kantor Bupati segera diaudit oleh aparat pengawas internal maupun penegak hukum eksternal, termasuk KPK.
Pemerintahan yang Kabur dari Akuntabilitas
Kasus ini menyorot persoalan mendasar: kegagalan menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas di dalam pemerintahan daerah. Dibiarkannya praktik ini tanpa klarifikasi resmi hanya akan memperkuat dugaan publik bahwa terdapat jaringan kepentingan gelap yang bermain di balik layar Pemkab Natuna.
KPK, Inspektorat Daerah, dan Aparat Penegak Hukum wajib bertindak cepat. Penyelidikan mendalam terhadap Bupati Cen Sui Lan dan seluruh rantai proses pengadaan harus dilakukan untuk memastikan apakah ini bentuk gratifikasi murni atau bagian dari praktik suap yang lebih luas.
Bupati sebagai penyelenggara negara tidak boleh berlindung di balik jabatan untuk mengaburkan batas antara urusan publik dan kepentingan pribadi. (Put)
Editor : Ismanto
Posting Komentar